Organisasi
merupakan suatu sistem terdiri dari
komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling
tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama
untuk mencapai tujuan tertentu. Sub-subsistem yang saling tergantung itu
adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal
(technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial
(psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam
proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak
ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara
individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik
antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor
yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam
suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja
yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan
organisasi.
Selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak
saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang
serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa
“kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja
organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian.
Banyak
definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini
tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli
tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna makna
yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal
nilai, tujuan, status, dan budaya.
Konflik
yang ada di dalam organisasi biasanya timbul dalam organisasi sebagai
hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur
organisasi. Dengan demikian konflik dapat diartikan adalah segala macam
interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak.
Konflik organisasi ( organizational conflict ) adalah ketidak sesuaian
antara dua atau lebih anggota – anggota atau kelompok – kelompok
organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus
membagi sumber daya – sumber daya yang terbatas atau kegiatan – kegiatan
kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan
status, tujuan, nilai atau persepsi. Konflik adalah suatu pertentangan
yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya,
orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya.
Terlepas
dari faktor-faktor yang melatar belakanginya, konflik merupakan suatu
gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku
“bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi
kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan
konflik dalam organisasi, ditentukan oleh persepsi individu atau
kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di
dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah
terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
2.2 PANDANGAN TERHADAP KONFLIK
Terdapat
perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau
dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik
dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan
bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik
tersebut sebagai konflik organisasional (organizational conflict).
Pertentangan
pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict
Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok
dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di
bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
Pandangan Tradisional (The Traditional View).
Pandangan
ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat
konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa
1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional
akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di
antara orang-orang, dan kegagalan
manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi
bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena
itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap
bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner
dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua
bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan
pandangan
modern (current view). Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan
dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut, kedua ara pandang: tradisional
dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap
konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap
kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap konflik
untuk mencapai kinerja optimal.
Terdapat
berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar
fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional
(Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang
mendukung
pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan
konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan
kelompok.
Menurut
Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu,
tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik
tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika
konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang
memuaskan bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional.
Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu
saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
- Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik
ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
- Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma -
norma kelompok tempat ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among
groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing -
masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
- Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak
negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya
yang sama.
- Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai
akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak
negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer
public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang
dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi
(1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut
adalah sebagai berikut:
- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara
atasan dan bawahan.
- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya,
konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
- Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya
berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
- Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi
tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan
oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive
conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive
conflict.
2.4 SUMBER PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut
Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar -
belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi.
Komunikasi
yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden
untuk terciptanya konflik. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini
digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut
terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan
ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict).
Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa
cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat
mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal,
ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan
sebagainya.
Robbins
(1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang
diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah
ini (gambar 1).
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik
Sedangkan
proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins,
mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et
al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Gambar 2 Tahap-Tahap Konflik
2.5 MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para
manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik.
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis
perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik.
Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali
perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada
perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada
terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi
menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara
baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan
menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson,
et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada
akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui
penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan
kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.
Para
manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik
disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan
dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih
sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa
faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus
antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh
(1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani konflik
tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika dasar dari
konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang terdapat
dalam konflik tersebut.
2.6 STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Model
Berikut ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam
organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik
yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal
menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain
(concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi
pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for
self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya
penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising.
Integrating (Problem Solving).
Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya
ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah
paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah
yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah
memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing).
Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya
obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak
lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan
menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan
tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing).
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan
taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa
(forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan
masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer
hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan
tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet.
Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi
dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada
minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka
yang terlibat.
Avoiding.
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sepele atauremeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan
untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan
diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah
yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika
kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous
situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat
sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
Compromising.
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara
seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima
(give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok
digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang
memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya,
dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari
kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara
dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan publik dipengaruhi oleh
tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktor - faktor yang menjadi
penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya: sikap responsif
dan
empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika di dalam
organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya konflik
yang terlalu rendah.
Sering
kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan
kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang konflik
secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang
ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah
organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik
memberikan indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam
organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak
dilaksanakan dengan baik.
Pandangan
yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa konflik tidak mungkin
dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan mengandung konflik, namun hal
itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang hebat. Para pimpinan yang
setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika pihak-pihak yang
berkonflik bersikap Back To Top dewasa
dan percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi sumber konflik akan
dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya bahwa kinerja
organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal atau
moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan
perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah
bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat
dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau moderat) sehingga
menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian kualitas
pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh,
Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.), Memimpin
Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia.
URLS:
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/konflik-dalam-organisasi-3/
http://uny.ac.id
http://usu.ac.id
http://wikipedia.org
http://google.co.id
http://ocw.gunadarma.ac.id